Skip to main content

Hai Bojonegoro, apa kabar?

Hai Bojonegoro, apa kabar? Aku masih ingat hari itu ketika tiba dikotamu, aku disambut jingga senja yang menakjubkan. Matahari mulai redup di balik pohon-pohon rindang di perbatasan sawah hijaumu. Aku selalu suka jingga senja beradu dengan hijaunya alam, satu lagi hari yang lelah sudah terlewatkan. Senja itu aku memulai langkahku untuk menghadapi tantangan, keluar dari zona nyamanku. Senja itu aku memutuskan untuk berdamai dengan diriku sendiri, untuk mengabdi. Senja itu aku merayumu, maukah kau menerimaku?
Warna-warni pelangi almamater dari 13 perguruan tinggi muhammadiyah menghias kotamu pagi itu. Untuk pertama kalinya bertatap muka, saling menyapa. Dari 233 mahasiswa aku dipertemukan dengan delapan wajah baru. Awalnya tampak sedikit menakutkan. Bagaimana tidak? Selama sebulan aku akan berada di tempat yang baru dengan orang-orang yang baru pula. Aku akan menjalani hari-hari dengan orang yang baru saja aku kenal. Bertukar pikiran dengan mereka, dan aku yakin akan sangat sulit menyatukan sembilan kepala dengan ide-ide yang berbeda. Sempat sedikit ciut dengan keadaan. Tapi aku percaya kau akan membantukan beradaptasi. Bukan begitukan, Bojonegoro?
Pagi itu kami awali dengan bertukar nama, asal universitas, asal daerah, bahkan alasan kenapa memilih mengikuti Kuliah Kerja Nyata jauh dari kampus asal. Aku mulai mempelajari karakter dari anggota kelompok KKNku yang nantinya akan menjadi partner keja selama sebulan. Kebetulan aku di kelompokan di kelompok enam, kami lebih suka menyebutnya “Tim 6”. Dan hal yang sangat aku syukuri sampai hari ini adalah aku di kelompokan dengan orang-orang hebat dengan berbagai karakter. Kelompok ini yang awalnya masih malu-malu karena baru saling menyapa kemudian berubah menjadi kelompok para tukang lawak. Ya walaupun masih ada beberapa kawan yang perlu beradaptasi lebih lama. Tapi cukup melegakan dikelompokan dengan para pejuang KKN ini. Dalam sekejab kami bangga menjadi tim enam.
Kau tahu, Bojonegoro?  Ketika saat penerjunan itu tiba aku masih mencari kawan se-almamaterku. Saling mengucapkan motivasi penyemangat, berjabat tangan, berpelukan, berharap sebulan kemudian ketika bertemu lagi setelah mengabdi, kami akan membawa banyak kisah tentang suksesnya KKN ini. Kami akan pulang dengan segudang ilmu baru yang kami petik dari kotamu. Harapan-harapan itu kami gantungkan di atas awan, terukir mantap disana.
Masih dalam warna-warni almamater yang berbeda, kami tiba di salah satu sudut kotamu. Sebuah desa yang tidak begitu jauh dari pusat kota, setengah jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. Desa Semenkidul. Jalan menuju Semenkidul cukup menyenangkan, banyak sawah-sawah hijau sepanjang jalan. Terlihat jelas orang-orangan sawah yang masih dengan sigap mengusir para burung nakal yang iseng memakan padi. Dan sekali lagi aku di sambut oleh kemilau jingga matahari senja.
Kami ditempatkan di rumah kepala desa Semenkidul, namanya Pak Imam Subowo. Sambutan yang hangat. Meski jarang tersenyum Bapak Lurah kami ini adalah orang yang sangat ramah. Rasanya sangat beruntung di tempatkan di rumah beliau. Kami di anggap anak, bukan tamu. Rumah yang nyaman menjadikan kami semakin bersemangat melaksanakan tugas pengabdian ini. Malam itu kami tutup dengan rapat persiapan untuk kegiatan esok hari. Dan pertarungan kami akhirnya benar-benar sudah di mulai.
Seakan dikomado, puluhan anak-anak kecil datang berbondong-bondong ke posko di hari pertama pengabdian kami. Mulai dari anak kelas satu hingga kelas enam SD memenuhi selasar rumah pak lurah yang menjadi posko kami. Mereka  dengan penuh antusias memanggi-manggil, mengetok pintu dan jendela. Kami seperti sedang berperang dan kalah telak akibat terpojok dengan strategi serangan gerilya anak-anak ini.
            “Kakak KKN, ayo belajar.” teriak mereka kompak.
            Kami yang waktu itu masih terkejut dengan munculnya pasukan ini, perlu waktu mempersiapkan diri dan membuat pasukan kecil kami menunggu. Tak lama kami mulai memberikan bimbingan belajar. Matematika jadi pelajaran andalanku, ya mungkin karena aku memang suka dengan hitung-hitungan. Jadilah aku di serbu anak-anak yang heboh dengan PR matematika mereka.
            “Kakak namanya siapa?” tanya Salsa, salah satu pasukan kecil dari kelas satu SD.
            “Nama kakak, Kak Pia” jawabanku singkat sambil tersenyum
            “Duh ko nama kakak Pia sih? Seperti nama kue saja” sanggahnya polos dan di ikuti tawa renyah dari pasukan yang lain. Ya Salsa bukan orang pertama yang bertanya hal serupa.
            Namanya juga anak-anak, mana betah lama-lama belajar. setelah setengah jam belajar mereka akhirnya menyeret kami ke markas-markas mereka. Mengajak kami berkeliling desa. Menurutku itu ide yang sangat bagus, mengingat kami memang harus paham seluk-beluk desa. Kami di ajak ke sungai, lalu di tunjukan tempat tinggal mereka. Beberapa kali kami berkenalan dengan orang tua mereka setelah menyapa ramah. Suasana pedesaan yang masih angat asri, tenang, dan yang pasti kehidupan sosial di sini masih sangat terjaga.
            Inilah awal ceritaku, Bojonegoro. Hal yang paling aku rindukan dari kota kecilmu. Sesuatu yang membuatku selalu ingin kembali ke sana. Pasukan kecilku. Mereka selalu datang dengan keceriaan yang tidak pernah berkurang setiap harinya. Mengajariku arti tulus manyayangi. Lelah memang ketika harus menemani mereka bermain berjam-jam, berkejar-kejaran, main peta umpet, domikado, tapi ketika mereka tertawa dan ggi-gigi kelinci mereka tampak lucu dipamerkan, rasanya setiap lelah berlari digantikan dengan rasa nyaman yang tak akan mampu dibeli. 
            Aku punya keluarga baru disini. Bukan satu, bukan juga dua. Aku punya tiga. Keluarga baruku yang pertama jelas saja induk semang kami, keluarga Pak Lurah. Kami disebut “Big Family” karena Pak Lurah dan Bu Lurah yang berbadan besar di padupadankan dengan kami (Mahasiswa KKN desa Semenkidul) yang juga berpostur serupa. Jadilah kami keluarga yang hobby makan. Menu kesukaanku adalah tahu bumbu bali dan pelas. Apa itu pelas? pelas adalah nama ilmiahnya bakwan jagung ala Semenkidul. Rasanya? Sangat enak, hingga sempat berkhayal membawa sekarung pelas untuk persediaan makan sebulan saat kembali ke Yogyakarta.
            Keluarga baruku yang kedua adalah, keluarga Pak Dul. Salah satu perangkat desa yang tinggal di seberang rumah. Aku sering numpang nge-print di rumah Pak Dul, sehingga sering mengobrol dengan istrinya, Ibu Kis. Membahas acara tv yang waktu itu sedang hangat-hangatnya tentang Teuku Wisnu dan Al-Fatihah. Berdiskusi panjang lebar tentang agama dan sesekali membantu Ibu Kis didapurnya. Ibu Kis sering menawarkan untuk makan di rumahnya tapi belum kesampaian sampai saat ini. Semoga nanti akan ada masanya untuk datang lagi dan melahap habis masakan Ibu Kis.
            Yang ketiga adalah keluarga Bu Nanang. Uniknya awal perkenalanku dengan Bu Nanang adalah saat acara kunjungan tim penggerak PKK Kabupaten ke desa Semenkidul. Bu Nanang punya anak kecil, namanya Azahra. Dan seperti biasa aku selalu terpesona dengan anak kecil. Saking dekatnya dengan Zahra, hingga Bu Nanang menawarkan untuk datang ke rumahnya yang berada di desa tetangga, Desa Sukosewu. Tanpa di undangn dua kali aku memenuhi permintaannya, dan jadilah kami keluarga baru yang bahagia. Hingga hari terakhir Bu Nanang memelukku erat, mengucapkan banyak harapan untuk dapat bertemu lagi suatu hari nanti. Doa yang aku amini dalam hati.
            Kau tahu, Bojonegoro? hal lain yang aku sukai darimu adalah alammu. Aku suka hijaunya sawah-sawah pedesaanmu yang menenangkan. Aku akan berteriak paling keras jika ada yang bilang kekeringan di desamu membuat banyak petani gantung pacul. Kenyataannya sawah-sawahmu masih hijau dan masih menggoda burung-brurung kecil untuk nakal mengganggu. Dan yang paling kusukai adalah suasana senja di Semenkidul. Bersepeda dengan anak-anak ke persawahan dan menyaksikan sang surya kembali ke peraduannya adalah hobbyku. Anak-anak dan senja sangat paham cara menutup hari dengan sempurna.
            Tak pernah terbayangkan satu bulan berjalan dengan sangat cepat. Rasanya seperti baru menepi dan harus segera berlayar lagi. Masih ingin memeluk tapi harus melepas. Tak ingin pergi tapi harus.
            Masih ingatkah kau, Bojonegoro? Hari terakhir ku desa kecilmu. Wajah anak-anak yang datang tidak seceria biasanya. Mereka seharusnya masih berbangga dengan prestasi juara harapan satu dalam lomba gerak dan lagu, namun ada kesedihan yang tak bisa ku deskripsikan. Aku  mencoba menghibur diri, menegarkan hati. Aku tak ingin ikut larut dalam haru detik perpisahan ini. Hingga seorang pasukan kecilku datang dan menyerahkan selembar kertas. Kertas putih dangan coretan tangannya. Masih dengan senyum ku baca kata demi kata dalam surat itu.
            Hai Kak Pia kita tidak akan bertemu lagi.
            Kalimat pembuka yang membuatku sesak. Benarkah kita tak akan bertemu lagi, sayang? Kakak sungguh ingin melihatmu tumbuh menjadi wanita yang cerdas. Aku masih berusaha tersenyum, ya berusaha, karena sebenarnya aku sangat ingin menangis. Membaca surat perpisahan dari seorang gadis polos kelas empat SD yang tulus mengucapkan permohonan maaf dan ucapan terimakasihnya atas kehadiranku. Sungguh tak pernah terbayangkan begitu berartinya arti kehadiranku untuk gadis kecil ini.
            Aku akan ingat masalau kita. Kalau ada kesalahan mohon maaf sebesar-besarnya. Simpan surat ini ya Kak Pia. Sampai Jumpa.
            Fina Nur Afidah
            Gadis kecil ini masih berdiri di hadapanku saat aku selesai membaca. Dia masih menatapku, lalu memelukku erat. Sangat erat. Kemudian dia menangis. Terisak lama lalu mengangkat wajahnya.
            “Fina nggak mau Kak pia pergi, Fina nggak akan lupain Kak Pia”
            Ya Allah, bagaimana bisa gadis kecil yang selalu tersenyum manis kini menangis dalam dekapanku. Memintaku untuk tidak pergi. Nafasnya sesak hingga sulit bernafas. Aku hanya bisa memeluknya erat, merayunya untuk berhenti menangis, meski akupun tak mampu menghentikan air mataku yang sedari tadi sudah tumpah. Aku berusaha meyakinnya bahwa kami akan bertemu lagi, walau aku sendiri tak mampu menjawab kapan.
            Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Aku masih belum berbenah, masih tak ingin setuju dengan waktu. Masih tak ingin mengakui hari ini akan segera berakhir dan esok datang untuk pergi. Malam itu, malam perpisahan. Kami melingkar dalam ruang tamu, saling mengucapkan kesan dan bertukar barang untuk kenangan. Lalu terisak lagi, menyadarai betapa waktu melesat bagai meteor, sangat cepat.
            Satu pagi yang cerah lagi di kotamu, Bojonegoro. Namun terasa mendung. Seperti ada awan hitam yang melekat kuat tak mau pergi. Koper-koper sudah tertata rapi di depan ruang tamu. Sebentar lagi akan meninggalkan desa kecil ini. Dan yang datang menjemputpun tiba, kami di jemput oleh Pak Barid, pimpinann ranting muhammadiyah Kecamatan Sukosewu. Mobil hitam yang sudah siap menungu kami di depan rumah Pak Lurah.
            Aku masih diam, kulihat teman-teman sudah mulai menaikan koper ke atas mobil. Aku masih seperti tak sanggup pergi. Aku mencari Bu Lurah, lalu berlari kepelukannya. Tumpah lagi air mataku yang sedari tadi sudah coba kumarahi untuk tidak jatuh. Beginikah rasanya perpisahan, Bojonegoro? ketika aku yang sudah menyatu denganmu dan kini harus segera pergi. Dapatkah aku bertahan sedikit lebih lama? Setidaknya hingga aku berdamai dengan perpisahan.
            Ah teganya waktu ya, Bojonegoro? bahkan Pak Lurah yang tampak begitu gagahpun meneteskan air mata, kalah dengan perpisahan. Perpisahan mengajarkan arti melepaskan, karena tak ada pertemuan yang kekal. Semua akan berakhir pada waktunya, tapi bukankah perpisahan itu sendiri tidak kekal? Ya, semoga kita masih ditakdirkan untuk bertemu lagi.
            Akhirnya aku memilih berdamai dengan waktu. Aku memilih untuk pergi dengan sebentuk senyum diwajahku. Kukumpulkan lagi pecahan semangatku yang berceceran agar mampu tersenyum. Dan ketika perpisahan itu benar-benar terjadi aku hanya bisa melambaikan tangan, memanjatkan begitu banyak harapan dan untuk sekejab merenungi banyak kejadian.
            Jalan saat kau datang adalah jalan untuk kau pulang, Ya, kulewati lagi jalan setapak berpasir penuh kenangan itu. Jalan yang pertama kali kulewati ketika tiba, jalan yang kulewati setiap hari untuk sampai ke balai desa, dan jalan yang akhirnya mengantarkanku untuk kembali ke Yogyakarta.
            Bojonegoro, aku tak pandai merayu. Tapi aku jatuh hati padamu. Aku jatuh hati pada indahnya alammu. Aku jatuh hati pada arifnya masyarakatmu. Dan aku jatuh hati pada setiap pengalaman yang kau berikan  dari kotamu. Kini tiba saatnya aku mengucapkan salam perpisahan. Kuucapkan “Sampai jumpa”, karena kuharap kelak akan kembali lagi ke kotamu dengan kisah suksesku yang lain. Kelak akan kukenang lagi bagaimana di kotamu ini aku di ajarkan untuk menjadi wanita tangguh dan mandiri. Dan kelak aku akan kembali lagi untuk menemui pasukan-pasukan kecil kesayanganku yang sudah beranjak dewasa.
            Terimakasih, Bojonegoro untuk semua kenangan manis yang sudah terukir apik dalam kisah hidupku. Terimakasih karena telah menerimaku dengan sangat baik. Terimakasih karena telah mempertemukanku dengan orang-orang hebat. Terimakasih telah menghadirkan senyum dan terimakasih karena telah mengijinkanku bertamu. Bukan. Aku bukan lagi tamu. Kini aku adalah bagian dari kotamu. Setidaknya meski aku tidak ada disana, kenanganku terpaku mati disana. Melekat kuat. Karena kini kau adalah salah satu tujuanku untuk pulang ~

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ruteng is the City

Ruteng.. kota kecil di timur Indonesia, tepatnya propinsi Nusa Tenggara Timur. namanya mungkin tidak familiar di telinga anda. tapi nama ini sangat melekat dalam hati kami. nama yang selalu menjadi alasan kenapa " bahagia itu sederhana "..  di ruteng anda tidak perlu menghabiskan uang untuk membeli AC, kami sudah punya AC alam yang akan membuat anda membutuhkan lebih banyak jaket dan selimut. Ruteng.. kadang kota kecil kami ini di sebut kota mati. tanya kenapa? bukan karena di apit oleh banyak kuburan atau hutan belantara yang luas, bukan juga karena kami kekurangan stok penghuni. tapi karena kota kami adalah "kota dingin". lho? apa korelasinya dengan kota mati? saking dinginnya kota kecil kami ini, pukul tujuh malam semua penghuni sudah berpacaran dengan selimut masing-masing dan bersiap ke pulau "kapuk". itu alasan kenapa pukul tujuh malam kota kami sudah sepi dari tanda-tanda kehidupan. yang ada hanya lampu-lampu rumah yang menyala sebagai ta...

Penyesalan Selau di Akhir Kisah - 1

Ingatkah kamu saat pertama kali kita bertemu? Aku sudah sangat melupakannya aku tidak ingat kapan dan dimana kita pertama kali bertemu Yang aku tau saat itu kelas lima SD dan saat itu hari valentine Ada kado dan aku yang sangat sombong itu menolak menerima kado istimewa darimu Lalu semua berubah aku pergi jauh dari kota kecil kita dan meninggalkan semua cerita tentangmu Saat aku kembali Kau tidak pernah berubah Masih seperti dulu Masih menungguku Saat itu aku masih mengira bahwa “ini hanya cinta monyetmu” Lalu aku bersamamu Berjalan bersama menuju arah yang tidak pasti Dan   tiba-tiba untuk alasan yang tidak jelas aku meninggalkanmu Pergi dan meninggalkan luka Namun kau tidak meninggalkanku meski aku berlari menjauhimu Kau ikut berlari bersamaku Meski tanpa aku tahu Kini saat dewasaku Kau datang lagi dengan cara yang berbeda Tidak dengan kekonyolan masa kecil kita Kau datang dan mengingatkanku Betapa jahatnya aku yang selalu tid...

Tugas Sertifikasi II

Nama               : Novia Florisa NIM                : 12023272 Kelas               : 4C Kerukunan yang Ku Damba "From Ruteng with Love"             Aku adalah seorang perantau. Datang dari sisi timur Indonesia. Ruteng. Nama kota kecilku di pulau Flores. Ruteng dapat di katakan replikasi dari kulkas berukuran raksasa. Karena suhu di Ruteng yang sangat dingin. Kondisi kota kecilku ini memang sangat berbeda dengan bayangan orang – orang tentang kota – kota di timur Indonesia yang kering kerontang. Kota kecilku ini malah kelimpahan air, itu karena kota kecilku berada di daerah pegunungan.             Mayoritas masyarakat timur memang beragama nasrani. Sama halnya de...