Nama : Novia Florisa
NIM
: 12023272
Kelas
: 4C
Kerukunan
yang Ku Damba
"From Ruteng with Love"
Aku
adalah seorang perantau. Datang dari sisi timur Indonesia. Ruteng. Nama kota
kecilku di pulau Flores. Ruteng dapat di katakan replikasi dari kulkas
berukuran raksasa. Karena suhu di Ruteng yang sangat dingin. Kondisi kota
kecilku ini memang sangat berbeda dengan bayangan orang – orang tentang kota –
kota di timur Indonesia yang kering kerontang. Kota kecilku ini malah
kelimpahan air, itu karena kota kecilku berada di daerah pegunungan.
Mayoritas
masyarakat timur memang beragama nasrani. Sama halnya dengan kota kecilku ini. Kaum
muslim menjadi minoritas di sini. Kebanyakan kaum muslim berasal dari luar kota
Ruteng. Seperti keluargaku contohnya. Keluargaku berasal dari pulau barat di
Indonesia. Tepatnya Sumatra Barat, Padang. Ayah merantau ke Ruteng pada tahun
pertama pernikahan beliau. Hingga akhirnya kami berempat bersaudara lahir di
tanah timur. Sudah 27 tahun yang lalu sejak ayah dan ibu pertama kali
menginjakan kaki di kota kecil ini. Tapi Allah sangat baik kepada kami, kami masih
di berikan kerukunan yang baik sehingga kami masih dapat bertahan hidup sebagai
kaum minoritas dikota kecil ini.
Selain
dari Sumatra, orang – orang dari pulau Jawa juga banyak yang merantau ke kota
kecil ini. Kesempatan mendapatkan keuntungan dagang dua kali lipat memang masih
menjadi daya tarik untuk datang ke kota kecilku. Bagaimana tidak, harga barang –
barang yang di jual di sini bisa dua kali hingga tiga kali lipat dari harga
yang di jual di pulau Jawa. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa masih
banyak pendatang baru yang bermunculan.
Hidup
di kalangan orang – orang nasrani ternyata tidak menakutkan seperti yang teman –
temanku bayangkan di sana. Tidak ada penindasan karena perbedaan agama. Kami malah
berteman dengan sangat akrab di sini. Persaudaraan malah terasa sangat kental. Contohnya
saja ayah, ayah yang notabene adalah seorang muslim masih sering di undang
untuk menghadiri acara – acara adat yang berlangsung di sana. Ayah di jadikan tetua
di sana, karena memang sudah sangat lama menjadi penghuni Ruteng. Tidak peduli
lagi agama apa yang di anut, yang kami tahu di sini kami adalah saudara
seperjuangan. Sama – sama berjuang untuk tetap hidup rukun. Berjuang untuk sama
– sama menjaga kota kecil kami, Ruteng.
Sejak
kecil ayah dan ibu sudah mengajarkan padaku tentang apa itu Islam, bagaimana
caraku sujud pada Tuhanku, dan mengapa agamaku berbeda dri teman – teman kebanyak
yang ada di sana. Hal itulah alasan kenapa aku tidak takut menjadi berbeda. Ajaran
Islam yang kental sejak kecil menjadikanku tumbuh dengan baik dan dapat terus
bersosialisasi dengan teman – temanku meski berbeda agama.
Saat
masuk sekolah dasar, aku bersekolah di sekolah yang paling dekat dengan rumah. Namun
sekolah itu merupakan sekolah Katolik, namanya SDK (Sekolah Dasar Katolik)
Santa Agnes Ruteng IV. Dalam kelas hanya ada lima siswa yang beragama Islam. Seperti
yang sudah di tebak kelima siswa ini berasal dari luar kota Ruteng. Aku kembali
menikmati menjadi kaum minoritas di kelasku, dan ini lagi – lagi tidak
membuatku canggung berteman dengan mereka. Bahkan karena sekolah itu sekolah Katolik,
aku mengikuti pelajaran agama Katolik di kelas. Dan hal yang paling lucu adalah
ketika nilai agamaku mendapat nilai tertiggi untuk pelajaran agama Katolik.
Belajar
agama tidak hanya di ajarkan di rumah, karena ayah dan ibu memasukan aku dan
semua saudaraku ke dalam pengajian anak –anak. Di mana di pengajian itu kami di
ajarkan membaca Al-Quran, aqidah, fiqih, menulis arab, dan segala hal yang
perlu kami kerahui tentang Islam. Kami selalu bersemangat ketika akan berangkat
mengaji, karena abah dan umi (panggilan guru ngajiku) sangat ramah dan sabar
menhadapi kami yang nakal – nakal. Belajar agama menjadi menyenangkan ketika
kami menjadi kaum mayoritas dalam rumah abah dan umi sebagai orang – orang muslim.
Pasti
banyak yang bertanya bagaimana keadaan kami di sana saat Lebaran tiba? Apakah kami
akan tidak di perbolehkan melaksanakan takbiran dan sholat Id? Jawabannya tidak.
Saat ramadhan tiba, suasana meriah ada di mana – mana. Orang – orang Katolik di
sana juga melakukan toleransi beragama dengan kami. Mereka mengerti bahwa saat
puasa kami tidak boleh makan apapun hingga matahari terbenam, maka mereka juga
tidak mau mengunyah sesuatu di depan kami saat siang hari. Teman – teman sekolahku
pun begitu, mereka sangat peduli dengan puasa kami dan menghargai kami yang
berpuasa. Dan walaupun sekolahku masih sangat kental dengan agama Katolik, saat
ramadhan sekolah pulang lebih awal karena menghormati siswanya yang sedang
berpuasa.
Saat
takbiran, kota penuh dengan suara takbir di mana – mana. Ada tradisi di Ruteng
yang mewajbkan adanya konvoi kendaraan saat malam takbiran. Uniknya konvoi kami
ini tidak hanya di meriahkan oleh kaum muslim saja, tetapi juga oleh warga asli
Ruteng yang beragama Katolik. Konvoi menjadi sangat panjang karena ketambahan
personil. Esok harinya pun meriah. Ketika Lebaran tiba, hampir semua rumah
orang – orang muslim di sini melakukan open
house dan akan sangat ramai ketika yang datang untuk silaturahmi bukan
hanya dari orang – orang yang juga merayakan Idul Fitri, tetapi tetangga –
tetangga dan teman – teman kami yang beragama Katolik juga datang untuk
meramaikan rumah. Banyak ucapan “Selamar Lebaran” yang terucap dari mereka.
Kerukunan
yang ku dambakan adalah kerukunan seperti di kota kecilku, Ruteng. Mungkin
memang belum sempurna kerukunan ini. Tapi yang paling penting kerukunan yang
terjadi di Ruteng memberikan rasa nyaman pada kaum minoritas seperti kami. Memandang
kami tidak berbeda walaupun perbedaan itu jelas dan nyata tampak. Menjadikan kami
saudara meski kami adalah pendatang dari negeri orang yang jauh. Banyak memang
berita tentang permusuhan antar agama yang kami dengar, tapi kami tidak mau
menjadikan itu panutan untuk saling mengejek dan bermusuhan. Kami selalu
menghargai perbedaan di antara kami. Bukankah Islam juga menghargai perbedaan? Bukankah
Islam juga mengajarkan tentang tolerasi beragama?
Islam
mengajarkan tentang toleransi sosial, tapi tidak ada toleransi mengenai aqidah
dan syariat. Kami sudah sangat mengerti itu, meskipun kami berteman dan
menganggap diri kami saudara kami tetap tahu batasan mana yang tidak boleh kami
lewati dalam perbedaan kami. Kami tetap muslim dan mereka tetap Katolik. Terkadang
ada berita –berita gembira yang kami dengar, jika ada orang asli dari Ruteng
yang memilih masuk Islam karena di pinang orang seorang muslim. Kami tidak
hanya tinggal dan menetap di sini, kami juga melakukan dakwah meski secara transparant.
Lewat sifat kami, prilaku kami, dan segala hal yang kami lakukan di sini kami
menunjukan bahwa Islam itu adalah agama yang indah. Agama yang sempurna. Ada memang
beberapa yang murtad karena masalah “cinta”. Pacaran dengan yang berbeda agama
lalu memilih untuk mengkhianati Allah. Tapi tidak sedikit juga yang mendapat
hidayah dan masuk Islam.
Kerukunan
itu sesuatu yang indah. Saat di mana tidak ada lagi jarak antara si hitam dan
si putih, tidak ada lagi perbedaan antara si rambut lurus dan si keriting. Semua
sudah tidak terlihat saat kami mulai bercerita dan tertawa bersama. Dan menjadikan
tawa kami alasan untuk tetap menjaga kerukunan ini. Semoga saja kerukunan ini
tetap selalu terjaga hingga nanti, hingga anak cucu kami kelak sudah tidak
mengenal lagi dengan kata permusuhan karena perbedaan di kota kecil kami,
Ruteng.
Menyenangkan dan menyejukkan hati mendengar ceritamu tentang Ruteng, semoga ada kesempatan untuk bisa berkunjung di sana :)
ReplyDeletedi tunggu ya kembaran datang berkunjung ke kota kecilku :)
Deleteiya, aku belajar banyak darimu. bagaimana cara kita menceritakan kota kelahiran kita, dan merasa telah menjadi bagiannya sedari kecil. walaupun orang tua kita bukan asli penduduk sana.
ReplyDelete